Siapa saja boleh dan bisa menjadi pengembang. Maksudnya, semua profesi dengan aneka disiplin ilmu, entah yang berhubungan atau tidak, bisa saja menjadi pengembang. Tidak heran, jika kita bisa menemui banyak pengembang mengawali karirnya dari kontraktor, konsultan properti, arsitek, mortgage bankir juga broker, sampai pemilik showroom kendaraan bermotor atau pemilik pabrik tekstil.
Mereka yang mengawali dari profesi yang tidak terkait sama sekali, biasanya lebih berperan sebagai investor. Tidak demikian dengan mereka yang awalnya berprofesi cukup dekat dengan bisnis properti. Mereka cukup terlibat secara ketat segala proses pengembangan sebuah proyek.
Dan, kini menyusul para kontraktor dan arsitek yang sudah menceburkan diri ke pengembangan properti , adalah para broker atau agen pemasar properti. Banyak alasan kenapa mereka terjun ke bisnis pengembangan properti. Namun pada intinya, karena mereka menilai dirinya sudah paham dengan bisnis ini, terutama dari segi pemasarannya. Seperti kata Sigit Budi Santoso, Principal Kingdom Property, “Kunci sukses developer itu pada pemasarannya. Dan saya diberi tahu, jika mau jadi pengembang, harus bisa jualan dulu.”
Meski tidak mengungkapkan secara eksplisit, banyak para broker atau agen properti itu terjun ke developer juga karena melihat peluang bisnis. “Banyak pemilik tanah yang tidak tahu, sebaiknya digunakan untuk apa asetnya atau banyak pemilik modal yang bingung mau diapakan uangnya,” kata Rita Megawati, Principal Lj Hooker Gading Serpong & Serpong (BSD CITY). Nah, mereka inilah yang digandeng (atau menggandeng, jika ide berasal dari pemilik aset), untuk mengembangkan asetnya yang idle menjadi sebuah properti.
Mengacu pada Dictionary of Real Estate Term, terbitan Barron’s Educational Series Inc, Amerika Serikat, developer atau pengembang adalah seseorang yang mengubah sebidang lahan mentah menjadi properti dengan menggunakan tenaga kerja, modal dan kemampuan kewirausahaan. Dilengkapi oleh Bayu Utomo, Chief Executive Officer PT Procon Dana Perkasa, cakupan kerja developer itu mulai dari akuisisi lahan, perencanaan, pembangunan sampai pengelolaan (operational).
Dengan demikian, urusan pemasaran atau penjualan hanyalah bagian kecil saja dari sebuah proses pengembangan properti. Karena itu, salah kaprah jika para broker yang hanya menilai diri sudah mengerti pemasaran, kemudian berani menceburkan diri dan menyatakan diri sudah paham pekerjaan developer. “Pekerjaan developer itu dari A to Z dan memerlukan pemahaman multidisiplin,” tegas Bayu. Selain itu, diingatkan, bisnis properti itu unik. Pasar di satu lokasi bisa jadi berbeda dengan lokasi lainnya. Begitu pun dengan jenis propertinya. Dan, suatu kondisi pun mempunyai pasar tersendiri. “Apakah mereka cukup paham jika terjadi perubahan pasar, karena situasi ekonomi berubah misalnya,” kata Bayu.
Faktor pengelolaan biaya, tambah Bayu, adalah juga hal penting pada bisnis developer. Bisnis ini memerlukan kapitalisasi yang tidak sedikit, jadi harus diatur betul cashflow-nya agar bisa bernafas panjang. Untuk itu, seperti juga bisnis lainnya, maka pola-pola kerjasama macam tanam modal bersama, bermitra strategis atau berbagi peran adalah hal yang juga mesti dipahami.
Dengan kompleksitasnya yang tinggi itu, tidak heran banyak orang menilai menjadi pengembang adalah naik kelas dari profesi sebelumnya yang juga di bisnis properti. Tapi dengan begitu, maka pekerjaan developer memerlukan sumber daya dengan keahlian khusus yang tak sedikit. Berapa banyak dan siapa-siapa saja yang terlibat, memang sangat ditentukan oleh skala proyek properti yang dikerjakan. Jika kecil, bisa jadi tak banyak resource yang terlibat, karena akan menjadi tidak ekonomis. Sebaliknya semakin besar proyek, kian banyak pula sumber daya yang harus diikut-sertakan, dan sangat mungkin harus secara outsourcing.
Jika ditelusuri, proyek-proyek di mana para broker itu terlibat, masih berskala kecil. Luasan proyek biasanya di bawah 2 Ha, bahkan banyak yang hanya dalam hitungan ribuan meter persegi saja. Jenis properti yang paling banyak dikembangkan adalah landed house, di mana menurut Bayu, properti ini tergolong paling “mudah” dalam bisnis properti. Pilihan properti itu juga mengingat selama ini mereka lebih banyak memasarkan rumah, baik di pasar primer maupun sekunder.
Tak beda dengan pengembang-pengembang individual yang banyak bermunculan akhir-akhir ini, mereka belum bergabung dalam asosiasi profesi pengembang macam Real Estat Indonesia (REI) atau Asosiasi Pengembangan Perumahan Seluruh Indonesia (APERSI). Pasalnya mereka menilai skala lahan proyek-proyeknya masih terhitung kecil, pun dengan kapitalisasinya. Menurut Jo Santoso, Ketua Program Magister Teknis Perencanaan Universitas Tarumanagara, di sinilah seharusnya asosiasi profesi itu untuk lebih berperan aktif, dengan menggandeng dan membina mereka. Karena, “Sekecil apa pun mereka, jika jumlahnya banyak, akan memberi dampak. Entah itu dari peruntukan atau wajah kota, juga bisnis properti secara umum kelak,” kata Jo.
Secara ideal, sebuah pengembang semestinya tak sekadar memasok pasar. “ Tapi sesuai sebutannya, harus bisa mengembangkan (industri properti), “ kata Jo tegas. Karena itu mereka mesti kreatif dan bisa berinovasi, membuat sebuah produk yang baru, serta mengembangkan pasar. Pendeknya, mereka juga harus ikut bertanggung jawab atas industri yang dimasukinya, sebab ini menyangkut kepentingan umum dan bisa memberi dampak. “Jika tak bisa, nyatakan diri saja sebagai investor, jangan pengembang,” tandas Jo.
Salam Kenal... Terimakasih atas bagi info dan ilmunya..
BalasHapusKami tunggu kunjungan baliknya..
Salam Sukses